Pages

Tuesday, February 12, 2013

Anak-anak Ternyata Suka Menanam Pohon

DEPOK, KOMPAS.com - Susah mengajarkan anak untuk memiliki pola hidup ramah lingkungan? Tidak, mereka justru suka. Anak-anak suka diajarkan membuang sampah pada tempatnya, anak-anak suka diajarkan mematikan keran pada saat menyikat gigi, bahkan anak-anak suka diajak menanam pohon. Jadi, tak ada alasan bagi orangtua dan guru untuk enggan mengajak mereka bersahabat dengan alam.

Dalam Tur Edukasi Bumiku Lestari di Semut-Semut Natural School Kelapa Dua, Depok, sukacita itu tersajikan. Di tengah suasana sejuk meski tengah beranjak siang, sejumlah anak dari kelas I sampai kelas VI berceloteh ria sambil gotong-royong menanam bibit-bibit pohon sukun, mangga, alpukat, rambutan dan cendana di beberapa titik di sekolah mereka.

Bagi Syifa, kegiatan menanam pohon ini bukan yang pertama kali untuknya. Sebelumnya siswi kelas V SD Semut-Semut Natural School ini sudah pernah ikut kegiatan menanam pohon yang digelar oleh sekolahnya. Namun, dia tak bosan. Dengan penuh antusias, Syifa kembali menerima permintaan gurunya untuk mewakili anak-anak kelas V menanam pohon. Mengapa?

"Senang aja, karena menurutku, dengan menanam pohon itu kan bisa melestarikan bumi, bikin bumi lebih sejuk," tuturnya kepada Kompas.com, Selasa (6/11/2012).

Syifa bercerita bahwa dirinya mengetahui manfaat menanam pohon itu dari rumah dan sekolah. Dari kedua tempat inilah, wawasan Syifa tentang alam dan lingkungan hidup terbuka lebar. Apalagi, halaman sekolah Syifa yang berkonsep alam memiliki banyak pohon dan tanaman.

"Aku kan belajar di sekolah, terus di rumah, aku suka baca-baca buku tentang bumi," ungkapnya kemudian.

Beda dengan Davin. Ini pengalaman pertamanya menanam pohon. Siswa kelas II ini berteriak kegirangan ketika Kepala Divisi Kesiswaan Sekolah Dasar Semut-Semut Natural School, Karso Wijaya, membawakan bibit pohon mangga ke depan barisan kelompoknya.

"Nih, biar ada pohon mangga di sekolah kita," ungkap Pak Karso.

"Waaah, kita tanam pohon mangga. Asyik...," seru Davin kepada teman di belakangnya.

Davin bersama teman-teman sekelompoknya memasukkan bibit pohon mangga ke dalam lubang yang sudah disediakan sebelumnya di bagian depan halaman sekolah mereka. Setelah itu, mereka bergotong royong menutup lubang dengan bantuan sekop yang disediakan. Semuanya mereka lakukan sendiri.

"Aku senang karena baru pertama kali. Tadi masukin pohon ke dalam lubang terus masukin tanahnya. Senangnya kenapa ya? Bisa bikin bumi lestari," tuturnya sambil bergelayut di mainan tali di dekat tempat penanaman pohon berikutnya.

Sebelum menanam pohon bersama, anak-anak ini mendengarkan penjelasan dari Pak Karso mengenai alasan mereka perlu menanam pohon, merawatnya dan merawat lingkungan sekitar. Cinta dari Tuhan, ungkap Pak Karso, harus dibalas dengan cinta kepada sesama dan alam sekitar. Salah satunya, dengan menghijaukan lingkungan seperti yang akan mereka lakukan kemudian.

Usai menanam pohon, anak-anak pun mencuci tangan mereka yang kotor terkena tanah. Di sini, mereka belajar untuk mematikan keran air ketika mereka menggosok tangan dengan sabun agar air tak sia-sia terbuang.

Dibiasakan ramah lingkungan

Dalam waktu 2,5 jam, anak-anak SD di Semut-Semut Natural School memang diajak untuk mengenal banyak aktivitas yang ramah lingkungan oleh Oppie Andaresta dan tim. Pengenalan ini diharap bisa mendorong anak-anak untuk memiliki pola hidup mencintai lingkungan.

Tak hanya menanam pohon dan mematikan keran saat mencuci tangan, anak-anak kelas V dan kelas VI misalnya, diajak melakukan kegiatan 3R, re-use, reduce, recycle, dengan bahan-bahan seperti koran dan kardus bekas. Mereka membuat tas daur ulang dari kertas koran dan pigura dari kardus bekas.

"Aku ternyata bisa lho buat pigura ini, aku nanti mau bawa ke rumah buat ditunjukin ke Bunda," ujar seorang anak lelaki sambil sibuk menggunting kardus di tangannya.

Tur sehari ini diharapkan bisa menanamkan kesan mendalam tentang ramah lingkungan kepada anak. Namun, tanggung jawab setelahnya tetap menjadi milik guru dan orangtua. Pak Karso mengatakan, di Semut-Semut Natural School sendiri anak-anak memang dibiasakan berinteraksi langsung dengan lingkungan. Selain integrasi nilai-nilai ramah lingkungan ke mata pelajaran, setiap hari Jumat, ada Talents Day dimana anak-anak masuk ke klub pengembangan minat dan bakat masing-masing.

"Salah satu kegiatannya gardening, fokus ke lingkungan, anak-anak belajar misalnya bagaimana men-stek, mencangkok, dan membuat taman. Selain itu ada namanya Bengkel Habibie. Anak-anak diminta membawa barang-barang yang sudah tidak dipakai lagi di rumah, di sini mereka bentuk, misalnya jadi robot, rumah, terserah sesuai kreativitas mereka. Kita hanya mengarahkan saja dan menyediakan bahan-bahan pelengkap, seperti lem dan gunting misalnya," tutur Pak Karso.

Hasil kreativitas mereka ini akan dibawa pulang ke rumah. Anak-anak dibiasakan untuk bercerita kepada orangtua. Dengan demikian, ayah dan ibu bisa mengetahui kegiatan anak-anaknya selama di sekolah. Sekaligus, anak-anak bisa menularkan kebiasaan ramah lingkungan kepada orangtua.
Editor :
Caroline Damani

Tak Akan Berhenti Menanam Pohon

Di tengah-tengah pemanasan global seperti zaman sekarang, pohon dan sosok seperti Achmad Yessa Dimjati (57) patut dilestarikan. Sejak bertransmigrasi dari Kediri, Jawa Timur, ke Gorontalo, Juli 1977, Dimjati terus-menerus menanam pohon di mana pun ia beraktivitas. Baginya, menanam pohon adalah melestarikan hidup. 
Pada dekade awal pemerintahan Orde Baru berkuasa, Dimjati muda kala itu termasuk salah satu warga yang ikut program transmigrasi. Bersama 25 kepala keluarga transmigran dari Kediri, Dimjati diutus sebagai pendamping mereka ke Gorontalo. Dia juga mendampingi transmigran dari Banyuwangi, Pacitan, dan Malang, masing-masing 25 keluarga.
”Saya memiliki pengalaman panjang di dunia kepanduan (pramuka). Sejak sekolah dasar hingga lulus pendidikan guru agama pada tahun 1972, saya aktif di pramuka. Hal itu menjadi dasar pemerintah saat itu menunjuk saya sebagai pendamping transmigran,” ujar Dimjati.
Bersama ratusan keluarga transmigran, untuk pertama kali Dimjati menginjakkan kaki ke Gorontalo, yang ketika itu masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi Utara. Daerah yang dituju Dimjati adalah Desa Harapan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo. Namun, saat itu belum ada Kabupaten Boalemo dan wilayah tersebut masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Gorontalo. Kabupaten Boalemo terbentuk seiring dengan usia Provinsi Gorontalo, yaitu pada tahun 2001.
Dimjati melihat sebagian besar tanah di wilayah transmigran sangat miskin pepohonan. Bahkan, sebagian besar tanah gersang. Karena berpikir tidak mungkin kembali lagi ke Jawa, dia merasa harus segera berbuat sesuatu agar bisa hidup dengan nyaman di daerah transmigrasi. Satu-satunya yang terlintas di benaknya saat itu adalah menanam pohon buah-buahan.
”Memang selama setahun, pemerintah menjamin segala kebutuhan hidup warga transmigran. Jadi, saya berpikir, saya harus melakukan sesuatu. Yang saya lakukan saat itu hanya sederhana, menanam pohon buah,” kata Dimjati.
Sejak akhir 1977, Dimjati mulai giat menanam pohon, terutama jenis buah-buahan, seperti jambu, mangga, durian, pisang, dan duku. Ke mana pun ia pergi dan melihat ada bibit pohon buah, ia tak segan membeli, bahkan meminta kepada pemiliknya untuk ditanam di Desa Harapan, kampung barunya.
Selain menanam pohon buah, Dimjati gencar menanam rumput gajah di tepian jalan dan anak sungai di Desa Harapan. Dalam sekejap, sebagian wilayah Desa Harapan dipenuhi rumput gajah. Selain bermanfaat sebagai pakan ternak sapi dan kambing milik transmigran, rumput gajah juga memperkuat sempadan sungai dari erosi.
Pencetakan sawah
Aktivitas menanam Dimjati ternyata membuat dirinya populer di kalangan transmigran. Bahkan, sebagian transmigran mulai mengikuti jejaknya untuk turut giat menanam. Karena banyak dikenal dan juga pengaruhnya sebagai pendamping transmigran, Dimjati lantas ditunjuk sebagai Kepala Desa Harapan pada periode 1980-1982.
Jabatannya sebagai kepala desa semakin strategis untuk menggalakkan penanaman pohon. Maka, dalam segala kegiatan apa pun, Dimjati tak lupa mewajibkan warga untuk membawa bibit tanaman apa saja untuk ditanam. ”Saat menjabat sebagai kepala desa, saya merintis pembuatan saluran air yang berdampak pada pencetakan sawah baru seluas 250 hektar,” ujar Dimjati.
Ia pun tak lupa dengan aktivitasnya saat masih di Jawa, yaitu kegiatan kepanduan atau kepramukaan. Di Boalemo, jabatan kepanduan ia raih sampai pada tingkat Wakil Ketua Cabang Pramuka Kabupaten Boalemo. Kegiatan di pramuka turut membantu misi Dimjati menghijaukan lingkungan sekitar. Sebab, semua kegiatan pramuka di Boalemo harus dibarengi dengan kegiatan penanaman pohon.
”Selain penanaman pohon dalam setiap kegiatan pramuka, saya juga mencetak selebaran berisi manfaat berbagai tanaman untuk obat. Itu saya tulis dan cetak sendiri untuk dibagikan secara gratis kepada siapa saja yang terlibat dalam acara pramuka, tak terkecuali masyarakat umum,” tutur Dimjati.
Rupanya, prestasi Dimjati di dunia tanam-menanam pohon serta pengaruhnya kepada masyarakat transmigran membuat ia dilirik pengurus partai penguasa saat itu. Dengan proses yang tak perlu berbelit, Dimjati akhirnya dipilih sebagai anggota Fraksi Golkar DPRD Kabupaten Gorontalo sejak tahun 1982 hingga 1992 atau untuk dua kali masa jabatan. Wilayah transmigran rupanya menjadi pendulang suara dalam setiap pemilihan umum bagi parpol penguasa tersebut.
Meskipun sudah beralih sebagai wakil rakyat, kecintaan Dimjati kepada pohon tidak pernah luntur. Setiap kegiatan partai atau yang ada kaitannya dengan tugas sebagai wakil rakyat, dia tak lupa mewajibkan peserta acara untuk membawa bibit pohon untuk ditanam. Tak heran, di mana ada Dimjati, pasti ada bibit pohon.
Puncak pengakuan terhadap apa yang dilakukan Dimjati terhadap lingkungan sekitar adalah penghargaan Kalpataru yang diterima tahun 1990. Penghargaan untuk kategori penyelamat lingkungan itu ia terima langsung dari Presiden Soeharto di Istana Negara. Menyusul kemudian adalah penghargaan Satya Lencana Pembangunan yang ia terima tahun 2003 dari Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kini, setelah pensiun dari segudang kegiatan, Dimjati masih aktif menanam pohon di sekitar tempat tinggalnya. Selain berwiraswasta membuka toko kelontong, Dimjati juga mengurus sawah dan kebun miliknya. Ia juga memiliki arboretum seluas lima hektar yang berisi aneka pepohonan. Hamparan hijau di Desa Harapan saat ini menjadi bukti dan saksi atas apa yang dilakukan Dimjati terhadap lingkungan sekitar.
”Tidak ada kata berhenti menanam pohon bagi saya. Sampai kapan pun, di mana pun, saya akan terus menanam dan mengajak masyarakat ikut serta menanam pohon,” ucapnya.
Bagi Dimjati, menanam pohon ibarat melestarikan kehidupan. Jika tak bisa dinikmati oleh si penanam, pohon tersebut akan berguna bagi anak cucu generasi penerus. Udara yang bersih, ketersediaan sumber air, atau buah-buahan yang melimpah adalah salah satu manfaat menanam pohon.

Oleh Aris Prasetyo
 
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
A. Wisnubrata